Pada awalnya, Munninghoff tidak ingin menjadi Pastor. Dia bersekolah untuk menjadi notaris, namun hal ini tidak dapat terlaksana karena terjadinya Perang Dunia II. Pada tahun 1940, bersama keluarganya mengungsi dan bersembunyi selama tiga tahun di sebuah seminari Fransiskan di Megen, Belanda. Para imam di sana bersih keras agar ia tinggal terus dengan para seminaris untuk menjalani hidup seperti mereka. Ia kemudian memutuskan untuk menjadi seorang imam dengan mengikuti teladan Santo Fransiskus. Hal ini didukung oleh kedua orang tuanya. Selama menjalani studi, ia tertarik dengan kehidupan para misionaris. Ia pun tertarik untuk bermisi ke Papua.

Setelah ditabiskan menjadi imam pada 15 maret 1953, ia berangkat ke Jayapura dan tiba pada tanggal 12 Oktober 1954. Setelah tiba, Prefek Apostolik saat itu, Pater Oscar Cremers, OFM menunjuknya sebagai sekretaris. Pada tahun 1956, Munninghoff diangkat sebagai Pastor Paroki Arso, sekaligus memberi pelajaran agama. Tahun 1957, ia dipanggil kembali ke Jayapura untuk menjadi sekretaris uskup pertama, Mgr. Rudolf Joseph Manfred Staverman, OFM, dan mengelolah keuangan misi. Pada masa itu terjadi Act of Free Choice.

Seiring dengan diterimanya pengunduran diri Mgr. Staverman, OFM maka Munninghoff terpilih menjadi uskup di Keuskupan Jayapura pada tanggal 6 Mei 1972. Ditabiskan menjadi uskup pada tanggal 10 September 1972 oleh Uskup Agung Semarang, Kardinal Justinus Darmojuwono. Bertindak sebagai uskup ko-konsekrator, Vikaris Apostolik Merauke Mgr. Herman Tilemans, MSC dan Uskup Agats, Mgr. Alphonsus Augustus Sowada, OSC.

Munnighoff pensiun pada tanggal 17 September 1997 dan kepemimpinan Keuskupan Jayapura dilanjutkan oleh Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM yang telah menjadi Uskup Auksilier sejak 6 Desember 1993. Pada 9 Agustus 2005 Munninghoff meninggalkan Papua menuju Jakarta, 12 Agustus 2005 kembali ke Negeri Belanda. Tanggal 30 November 2016 ia genap 95 tahun masih cukup segar, namun kabar terakhir sering megalami sakit di badan sebelah kiri, terutama di mata. Hari-harinya saat ini di biara Fransiskan Alverna, Belanda.

Ditulis Oleh : Florry Koban pada Buku Kenangan 50 Tahun Keuskupan Jayapura

Foto : Uskup Herman dan Uskup Leo di Lapangan Peternakan Misi Hom-Hom Wamena. Misa Akbar umat Katolik di Wamena mengakhiri masa bakti pelayanan kegembalaan Uskup Herman yang telah bertugas sebagai Uskup Jayapura selama 25 Tahun. 

BAPAK USKUP HERMAN 

Ditulis dalam Bahasa Belada Oleh : Pastor Theo Vergeer, diterjemahkan ke Bahasa Indonesia Oleh Pater Nico Syukur Dister, OFM, beberapa jam sebelum kepergian Uskup Herman

Bapak Uskup Herman Münninghoff termasuk generasi kedua dari para misionaris Fransiskan Belanda yang pasca Perang Duni II dalam tahun 50-an abad lalu (1954) diutus ke Papua yang waktu itu bernama “Nederlands Nieuw-Guinea”. Di sini masih dialaminya zaman penjajahan Belanda dan pada periode awal dari karyanya sebagai misionaris, masih menyaksikan ditemukannya suku-suku baru di pedalaman Tanah Papua.

Medan karyanya sendiri mula-mula terutama di daerah pesisir di bidang pendidikan dan pendampingan kaum muda, dan dalam dinas ekonomat dan sekretariat bakal keuskupan Jayapura, yang pada waktu itu meliputi seluruh bagian Papua Utara, termasuk wilayah Kepala Burung. Sejak 1967 beliau bertugas sebagai Vikaris Jendral serta Ekonom Keuskupan Jayapura, dan thn 1972 menggantikan pendahulunya, Mgr. Rudolf Staverman OFM sebagai uskup kedua dari dioses Jayapura yang secara geografis begitu luas.

Selama 25 tahun memangku jabatan uskup keuskupan tersebut, beliau mengalami akibat-akibat penuh gejolak dari perubahann politik, ketika wilayah Kerajaan Belanda ini beralih ke Republik Indonesia dengan keputusan defiitif pada tahun 1969. Bagi para warga keuskupannya yang sebagian besar orang asli Papua, akibat-akibat tadi bersifat sangat sensitif.

Untuk memajukan dinamika kesatuan erat dan kuat antara suku-suku keuskupannya yang amat beraneka ragam dan tersebar luas, selama tiga tahun pertama dari pontifikatnya, beliau menjadikan proses penyadaran dapat berjalan di semua komunitas basis. Tahun 1976 proses ini bermuara dalam Sinode massal di ibukota Jayapura, yang dipartisipasi oleh kelompok-kelompok utusan yang besar dari semua regio dalam keuskupannya. Tema Sinode “Bersama-sama kita inilah Gereja” menyerap masuk dalam-dalam di kesadaran setiap orang. Sebuah happening yang hebat!

Dengan segala macam cara beliau mendorong penduduk lokal untuk berperan aktif dalam komunitas gerejawi mereka (inkulturasi dalam cara-cara menggereja, dalam pembangunan gerejawi, dalam perayaan-perayaan), dan banyak waktu dipakainya untuk sendiri mengunjungi umatnya di mana-mana melalui turne.

Ketika di tahun 90-an pada waktu rezim Suharto, tindakan represif terhadap penduduk setempat membubung tinggi, dan di semua regio hak asasi manusia dilanggar oleh pihak penguasa, nama Uksup Münninghoff menjadi terkenal secara lokal, nasional dan malah interasional karena beliau terang-terangan mempublikasikan laporan mendetail tentang segala pelanggaran dan ketidak-adilan lainnya, sambil menghadapi kemarahan kuasa militer dan sipil, baik lokal maupun nasional. Tetapi dalam semuanya itu Uskup Herman tetap berdiri tegak.

Di bidang kegerejaan nasional Uskup Herman memainkan peranan dalam sejumlah komisi dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), khususnya dalam hal keuangan dan pensiun petugas-petugas gerejawi.

Di tahun-tahun terakhir pontifikatnya, beliau meminta kepada Sri Paus agar diberikan seorang Uksup Auxiliar dan dengan senang hati membiasakan bakal penggantinya, Mgr.Leo Laba Ladjar OFM dengan jabatannya sebagai uskup keuskupan Jayapura, sehingga tahun 1997 Mgr. Herman dapat menjadi uskup emeritus. Karena kesehatannya menurun, maka di 2005 Mgr. Münninghoff kembali ke Belanda.

Tanggal 30 November 2017, Uskup Herman merayakan Ulang Tahun ke 96, dan pada tanggal 7 Februari 2018, Emeritus Uskup Herman F.M. Münninghoff, OFM Meninggal Dunia di Negeri Belanda. Umat Katolik di Seluruh Tanah Papua merasa kehilangan, Doa Mengiringi Kepergian Uskup Herman bersama Para Kudus di Surga. Amin***