Tulisan Br.Henk Blom, OFM menggunakan Bahasa Belanda pada catatan harian berjudul “Mijn Verhaal Henk Blom” tahun 2000, diangkat kembali oleh Florry Koban dalam Bahasa Indonesia tahun 2014.
Di Jayapura kita memiliki masa-masa itu yang tak pernah berhenti. Di antaranya, pengerjaan renovasi katedral baru tersebut.
Di tahun 1985 kami ditanya apakah ingin merenovasi dan memperluas gereja episkopal di Dok V. Tanpa berpikir panjang, kami mengiyakan. Saat cuti di tahun 1985, saya membuat gambar rancangan di loteng peternakan kakak laki-laki tertua saya, yang putranya adalah pembuat gambar teknik dan lalu mengirimkan gambar tersebut. Sebelum berakhir masa cuti, saya ditanya, apakah rumah pendeta masih bisa dibangun di sana. Saat itu saya tidak bisa memberikan jawaban. Setelah kembali ke Irian saya membuat sejumlah kemungkinan di beberapa pertengahan hari yang tenang, menggunakan kertas sketsa dan gulungan pengukur. Saya berkesimpulan untuk meletakkan rumah pendeta di bawah bagian gereja yang masih harus dibangun. Saya mengajukan usulan ini pada pengelola. Pertanyaan spontan mereka adalah: ”Bisakah”. Jawaban saya saat itu: ”Bersama kita bisa”. Hal itu menjadi tantangan yang menegangkan. Gambar disesuaikan dan untuk kepentingan renovasi tersebut, diajukan izin membangun.
Tampak Depan Bangunan Lama Katedral
Bangunan Katedral Lama
Selama diskusi awal kerja sama menjadi prioritas. Semua anggota jemaat harus berkontribusi. Dan sukses. Wilayah gereja di mana gereja dan kepastoran berdiri, terletak di kelokan sebuah jalan yang turun 12 meter ke bawah secara bertahap. Mulai bagian datar di mana gereja dan kepastoran berdiri, terdapat pula bagian wilayah itu 12 meter miring ke arah bawah. Di sana terdapat banyak pepohonan tua yang, meskipun bukannya tak berbahaya, ditebang dengan teratur. Sebelum dapat menguruk dengan buldoser, kami harus membangun sebuah dinding, karena kami kesulitan untuk membuang tanah ke atas jalan. Karena itulah menurut kami sebuah dinding harus disemen secara condong ke dalam dengan bebatuan sungai dan dilengkapi besi beton yaitu tanpa kusen. Disemen selapis demi selapis. Mempertimbangkan waktu pengerasan. Dinding sejajar dengan jalan setinggi delapan meter. Di atasnya disambung (batas pemisah) sebuah dinding berukuran tiga hingga delapan meter. Akibatnya terdapat satu ruangan terbuka sangat luas yang harus kita isi.
Awal Pembongkaran Gereja Katedral Lama
Pembangunan Gedung Gereja Oleh Paroki
Setelah itu ruang kecil dengan dua menara hingga fondasi dihancurkan. Sebuah dinding sementara memungkinkan dilangsungkannya kegiatan pelayanan gereja, dari dinding pemisah itu dibuat sebuah galian sedalam enam meter berukuran 30 x 20 meter dengan buldoser. Tanah berbatu dan tidak rata yang diperoleh dapat digunakan untuk mengisi ruang terbuka tersebut. Karena itulah kami mendapatkan pula wilayah pembangunan yang luas. Selama pengerjaan dengan buldoser, batu besar menggelinding dengan keras ke arah tembok setinggi delapan meter tersebut. Setelah selesai, seluruhnya diaspal dan terakhir dibuat lahan parkir besar untuk pintu masuk rumah pendeta. Selama penggalian dengan buldoser dikumpulkan bebatuan besar “yang dapat ditangani”. Semuanya dibelah menjadi batu yang dapat digunakan untuk fondasi baru. Kala itu bulan November 1987 dan hujan lebat menyebabkan tekanan berlebihan tanah pada dinding. Karena itu dinding diuji dan ternyata terlalu lemah. Dinding mulai bergelombang di segala tempat dan timbul retakan. Dari departemen pekerjaan umum kami mendapatkan peringatan bahwa dinding bisa patah dengan segala akibatnya. Hal itu bisa menimbulkan kecelakaan di jalan. Saya belum pernah merasa ketakutan selama sebulan seperti itu; Dinas Pekerjaan Umum mencari jalan keluar secara aktif tapi hal ini kemudian dengan persetujuannya disederhanakan, disetujui dan kemudian diselenggarakan. Kami menyemen dinding kedua yang diperkuat, lagi-lagi menggunakan batu sungai, semen dan pembatas beton. Di atasnya dinding ditutup dengan pelat beton yang diperkuat, yang dapat berfungsi sebagai parit pula. Dinding itu kini jelas tidak dapat rusak dan saat hari Natal 1987 saya dapat tidur kembali dengan nyenyak. Tim pembangunan Talip menyebabkan kami tegang sebelum pelaksanaannya, karena menginginkan fondasi rumah pendeta selesai sebelum musim hujan. Fasad rumah pendeta dan gereja setinggi 14,50 meter, berdiri di atas pelat reng beton yang diperkuat dengan épén selebar tiga meter dan tebal 30 cm yang di atasnya terdapat balok cincin beton yang diperkuat.
Pondasi Pastoran Katedral
Membangun Mall untuk Kemiringan Talud
Konstruksi Lantai Satu Katedral yang telah selesai
Seluruhnya berada di atas lereng, sehingga memerlukan persyaratan yang lebih ketat. Setelah gempa bumi pertama, tidak ada kerutan. Setelah perbaikan dinding lalu dilanjutkan ke lantai gereja baru yang dilengkapi beton, dan selanjutnya mereka dapat melakukan pelayanan gereja di rumah pendeta untuk sementara waktu. Semuanya berjalan sesuai rencana dan saya menghabiskan banyak waktu setiap harinya untuk dapat melakukan penyesuaian, karena tidak tersedia perincian rancangan.
Katedral Baru Selesai dibangun, Pastoran ada di lantai satu.
Tampak Samping Gereja Katedral, Pastoran Menghadap Laut
Sayap-sayap samping Katedral Jayapura
Panti Injil dirancang oleh Donatus Moiwend
Tabernakel Konsep Ukiran Donatus Moiwend
Interior Katedral
Altar Utama Katedral Jayapura
Perayaan Misa Pemberkatan Katedral
Kursi, Meja dan Mimbar Altar
Tempat Devosi Kepada Bunda Maria
Pada suatu hari, datang saudara laki-laki dari Pendeta Camps, seorang kontraktor, dan mengamati dengan penuh perhatian. Ia bertanya di mana kumpulan arahan, tidak ada arahan. Lalu ia menanyakan gambar rancangan, tidak ada. Izin membangun, mungkin? Tidak ada izin membangun pula. Ia tidak mengajukan pertanyaan lagi dan dengan penuh perhatian saya memberikan penjelasan tentang beberapa dinding yang menunjukkan jala ikan. Penjelasan tentang batu bersudut enam, yang dapat disemen dalam berbagai posisi dan dicat dalam beraneka warna. Penjelasan mengenai berbagai pahatan, di antaranya buatan penduduk Sentani. Penjelasan tentang menara jam dengan empat tiang totem yang memberikan pengorbanan dengan memanggul salib. Penjelasan tentang berbagai karya seni dari Donatus Moiwend: pembuatan pahatan, sablon dan lukisan, penjelasan tentang batu hias dalam beraneka bentuk untuk lampu dan atap dan semua yang dapat ditemukan dalam pembangunan kami. Penjelasan tentang arsitektur yang, ditampilkan dalam garis-garis miring, menghias bangunan kami. Dan seterusnya. Setelah penjelasan dan pengamatan selama beberapa jam, ia menuju rumah dengan puas. Jadi tidak ada rancangan terperinci menurut buku tersebut, tapi banyak sketsa yang dibuat selama pembangunan. Saya pernah mengatakan bahwa perincian terindah yang dibuat adalah saat khutbah atau rapat pertemuan. Perincian ini digambarkan pada kertas kotak-kotak (untuk grafik). Tidak ada intervensi birokrasi yang tidak memungkinkan hal tersebut di Belanda. Selama bertahun-tahun pembangunan, kami hanya meminta kedatangan pemeriksa satu kali untuk memeriksa pekerjaan. (Dengan menyajikan kopi dan kudapan!) Sebetulnya ada izin membangun namun didasarkan pada renovasi keseluruhan. Akan tetapi terdapat bangunan baru termasuk di dalamnya rumah pendeta dengan maksud bahwa hanya gereja tua yang akan direnovasi.
Ukiran Kayu Motif Sentani
Lorong dengan Jendela berwarna
Opening Ceremony Peresmian Katedral dihadiri Keluarga Henk Blom
Haji Talib Kepala Tukang menyerahkan Kunci Katedral
Tarian Yosim Pancar memeriahkan Peresmian katedral
Bagian barudari gereja tua adalah bendera di atas tongkang lumpur. Jadi diputuskan pula untuk membongkar semuanya kecuali pintu masuk untuk memeprtahankan kenangan! Setelah bagian baru selesai di rumah pendeta, kami menghancurkan sisa bagian gereja tua dan membuat rencana baru untuk fondasi tua. Para pelukis pun melakukan persiapan selama berbulan-bulan, di bawah pengawasan Leo Barasano, dan direkomendasikan oleh J. van de Werf. Saat kami ragu-ragu, warnanya disesuaikan. Sementara itu, masyarakat Sentani membuat dekorasi dan Donatus Moiwend membuat dekorasi miliknya. Tempat kerja Karya Mulia membuat bangku dan altar. Sebuah altar, khusus untuk kitab Injil, berdiri di atas empat papan lebar, di mana Donatus Moiwend mengukur keempat penginjil dan mewarnainya. Seluruh ruang kecil (di atas rumah pendeta) berukuran 12 x 6 meter dan setinggi tiga anak tangga disemen dengan botol dan kaleng kosong. Lebih kurang 38.000 potong, agar rumah pendeta tidak terlihat terlalu ramai dan menghemat semen. Selama pengaspalan, para anggota jemaat berdiri memulai pesta Hanukkah besar di Januari 1990, di mana sejumlah anggota keluarga saya menjadi saksinya. Rasa syukur itu begitu besar dan pestanya meriah dan tak akan terlupakan. Itu adalah kebanggaan dari semua orang yang membangunnya. Setelah semua ini, saya mengambil cuti untuk bepergian bersama anggota keluarga ke Baliem, Enarotali, Toraja, Timika, Yogyakarta, Jakarta, Pakistan.
Gereja Kotaraja
Interior Gereja Kotaraja
Selama pembangunan Katedral kami membangun pula gereja Kota Raja (Tiga raja). Kota Raja adalah wilayah paroki Abepura termasuk di dalamnya Waena, di mana kami kemudian mendirikan pula sebuah gereja. Sebidang tanah luas di depan Kota Raja dibeli karena terdapat lebih banyak plam1en seperti kepastoran, rumah pendeta, sekolah, rumah, dll. Saat saya menjelajahi kawasan itu bersama seseorang dari kantor keuskupan membawa serta dokumen, ternyata di sepanjang jalan itu berdiri berbagai toko. Toko itu memiliki surat atas sebidang tanah mereka. Akhirnya mendapatkannya! Dengan memindahkan sebuah toko, kami membeli salah satunya, sehingga dapat memasuki wilayah itu dengan seluas-seluasnya. Ini bukan pertama kalinya kami membeli sebuah wilayah untuk mendapatkan kebun. Pembangunan katedral dengan rumah pendeta dan lereng (sebagaimana diuraikan) berlangsung tiga tahun, tapi gereja dan kepastoran ini menghabiskan waktu satu tahun sehingga ditahbiskan lebih awal. Setelah melakukan perjalanan mengelilingi Jayapura bersama keluarga, saya mengambil cuti bersama mereka setelah pentasbihan katedral.***