Menurut Analisa Saya : Florry Koban

Foto : Bersumber dari internet, karya lukisan Michaelangelo di Kapel Sistina Vatikan 

Sejarah dunia mencatat keindahan dalam Lukisan Kapel Sistina Vatikan. Kapel ini berada di Kompleks Vatikan, pusat hirarki Gereja Katolik Roma seluruh Dunia. Fungsi kapel ini untuk menggelar 50 acara resmi sesuai kalender kepausan dalam setahun, sekaligus tempat diadakannya Konklaf (Pemilihan Paus). Yang membuat saya penasaran adalah cerita Uskup Leo, bahwa lukisan di Kapel ini tidak boleh terkena cahaya foto (blits) sembarang. Cerita ini membuat saya ingin mencari tahu dari berbagai sumber, dan juga menganalisa, bisa benar dan bisa salah juga, walau saya tidak pernah ke sana, dan mungkin tidak akan pernah ke sana karena yang bisa sampai di sana hanya pastor, Uskup dan orang-orang kaya. Ada banyak pelukis dunia yang meninggalkan karya abadinya di Kapel ini sesuai periode Paus. Namun yang paling terkenal adalah Michaelangelo yang diperintahkan oleh Paus Julius II untuk menggambarkan 9 peristiwa dari perjanjian lama.

Dalam menyelesaikan lukisannya selama 4 tahun (1508 s.d 1512) Michaelangelo menggunakan berbagai pigmen warna yang berasal dari alam setempat, yaitu tanah berwarna, jenis tanah ini harus ditambang khusus di Italia. Pigmen tanah yang paling mahal saat itu adalah pigmen tanah yang menghasilan warna BIRU sejenis ultramarine, warna itu harus diimpor dari Afganistan, harga pigmen tanahnya seharga emas pada saat itu (anda bisa melihat istimewanya warna biru pada lukisan kapel Sistina). Pigmen-pigmen tanah itu kemudian dicampur dengan plester basah atau dalam teknik melukis dikenal dengan istilah “Buon Fresco”, selain itu dicampur juga dengan bahan kapur dari alam setempat (dalam Bahasa kimia disebut Klasium Oksida) yang ketika dimasukkan ke air, kapur ini akan menarik air memasuki dirinya setelah itu terjadi dehidrasi, semakin lama cairan ini dibiarkan maka akan semaikn kental dan semakin bagus.

Selain sebagai pelukis Michaelangelo juga disebut sebagai Arsitek Klasik Gereja Katolik saat dia merubah fasade Gereja San Lorenzo di Florence tanah kelahirannya. Karyanya saat itu terpengaruh dengan situasi Perang. Ciri bangunan penjiwaannya adalah Bentuk Tabernakel yang besar melebihi pintu gereja, langit gereja terkesan merentang tinggi ke atas, dengan tiang pilar yang kelihatan besar dan kokoh, namun jendela-jendela berukuran kecil dan ada pada puncak gedung. Bentuk klasik seperti ini menggambarkan Gereja jaman dulu lebih dimengerti sebagai GEDUNG, yang pada saat itu suasana umat Tuhan merasa dalam lingkungan kematian, lalu tubuh akan bangkit ke arah cahaya. Namun dalam dunia arsitektur Langgam klasik ini tidak serta merta dikatakan sebagai Arsitektur Kematian, walau tak bisa disangkal juga jika suasana mempengaruhi fell dan rasa Michaelangelo saat itu. Pemahaman gereja sudah berkembang di jaman modern ini, gereja bukanlah sebuah GEDUNG tetapi sebagai PERSEKUTUAN UMAT ALLAH, tentunya dari segi rasa dan fell Arsitektur ikut berubah di jaman modern ini.

Pada umur 70 tahun Michaelangelo dipercayakan Paus Paul III untuk menata Kota Roma yang pernah hancur, Karya Arsitekturnya ini menjadi sejarah perjalanan waktu Dunia Arsitektur, karena menggunanakan prinsip yang lebih teratur, proporsi, desain dan gaya. Termasuk Kubah St. Petrus di Vatikan, Kubah Basilika St. Petrus juga merupakan desain Michaelangelo yang keluar dari keputusan batin yang kuat, mandiri dan tidak ingin disuap.

Beberapa sumber diceritakan, jika dalam proses 4 tahun pengerjaan lukisan di Kapel Sistina, Michaelangelo sempat mengupas kembali lukisannya untuk diperbaiki karena lukisannya rusak, namun tidak diceritakan apa alasan rusak. Menurut analisa saya lukisan itu rusak akibat lembab, karena pigmen tanah dicampur kapur tidak tahan lembab, faktor lembab saat itu karena rangka-rangka stager yang digunakan Michaelangelo menghalangi sebagian besar cahaya matahari yang masuk ke kapel Sistina. Cerita tentang lembabnya lukisan ini saya mendapat pengalaman dari Alm. Bruder Blom, OFM mantan Arsitek Gereja Katolik Keuskupan Jayapura yang warna-warna gedungnya belum pernah berhasil ditiru oleh berbagai arsitek dengan mencampur cat semahal apapun. Alm. Bruder Bloom, OFM menggunakan material alam di Papua untuk menghasilkan warna khas gereja, beliau melakukan teknik pengecatan dengan menyesuaikan kelembaban udara, maka sangat beralasan arsitekturnya banyak ornament lubang-lubang justru memungkinkan cahaya matari dengan sendirinya merawat cat warna khas tersebut, jadi jangan tanya kenapa cat luntur, bisa saja sejumlah ornament dan pencahayaan gereja ditutup atau diganti dengan lampu-lampu modern yang tidak dihitung baik dampak ilmiahnya. Konon banyak umat Katolik di Keuskupan Jayapura menyebutnya dengan "WARNA MISI", dan ingin sekali rumah-rumah mereka dicat dengan warna misi, sekali pun sudah mencoba dengan berbagai merek mahal tapi tidak serupa warna misi. Bruder Blom pake material apa dalam mencampur cat ? diambil dari mana ? yah saya tidak perlu ceritakan di facebook ini karena tujuan saya hanya menganalisa lukisan di kapel Sistina di Vatikan.
(maaf tulisan terlalu panjang, salam saya Florry Koban : Arsitek, Pelukis dan Musisi Klasik Gereja katolik)